Kamis, 24 Februari 2011

Kebahagiaan Abadi
Oleh : Widyastuti

Aku adalah seorang anak perempuan yang hidup dikeluarga yang cukup terpandang di kampungku. Aku hidup serumah dengan ayah, ibu, nenek serta kakekku. Aku cukup bahagia bisa hidup ditengah - tengah keluarga ini. Aku bangga memiliki keluarga yang selalu menya_yangiku. Tapi waktu terus berjalan begitupula dengan kehidupan dalam keluarga ini. Kebahagiaanpun semakin lebur dan seakan lenyap ditelan bumi. Ayah clan ibu selalu bertengkar setiap hari, apalagi itu dilakukan didepan mataku seakan hati ini benar-benar terluka dan tak dapat diobati. Pertengkaran itu disebabkan karena masalah ekonomi. Ayahku yang belum mempunyai pekerjaan tetap dan ibuku selalu menuntut segala kebutuhannya terpenuhi.
Pada suatu malam aku mendengar pertengkaran hebat ayah dan ibu lagi "ya sudah aku pergi dari sini" kata ayahku, dan ibu pun menjawab "pergi saja, pergi !" dengan suaranya yang keras diiringi tangisan membuat tidurku terganggu dan akupun ikut menangis. Tapi aku cukup bersyukur mempunyai kakek dan nenek yang selalu memberikan kedamaian dalam hatiku. Sejak saat itu aku malu main bersama teman - temanku apalagi saat aku ditanya "Bintang bapakmu kemana ? kok nggak kelihatan" Tanya temanku, aku tidak bisa berkata apa - apa clan aku hanya bisa tersenyum. Setelah hari demi hari ini aku lewati kemudian ibuku memutuskan untuk mencari kehidupan yang lebih balk dan untuk mencari uang memenuhi kebutuhanku.
" Nduk", ibu pergi dulu jangan nakal ya " Pesan ibu " Ya... ibu" Jawabku.
Tapi apa artinya bagiku seorang gadis 4 tahun yang belum mengerti hidup, tak tau bapaknya kemana, dan ditinggal ibunya pergi kekota. Aku hanya tau sekarang aku hidup bersama kakek dan nenekku yang selalu menyayangiku dan teman - teman yang selalu menghiburku.
Selang beberapa minggu kemudian aku mendengar ayah dan ibuku akan bercerai dan seakan keputusan ini tidak dapat diubah kembali. Aku hanya bisa berkhayal seandainya aku tidak bisa hidup bersama keduanya aku akan bersama siapa? Kehidupankupun begitu tidak jelas dan tak pernah mengerti, tiba - tiba ayahku datang dan menjemputku uintuk tinggal bersama keluarga ayahku. Seakan aku mengalami depresi berat karena aku tidak bisa menentukan hidup dan tidak bisa mendapatkan kebahagiaan yang dimiliki anak - anak seusiaku.
Apalagi kalau aku mengingat disaat ibuku sedang marah besar dengan ayah, aku yang selalu menjadi acaran. hati ini benar - benar terluka dan tak tau sampai kapan aku merasakannya.
Setelah aku tinggal bersama ayah beberapa waktu lalu keluarga dari ibuku menjemputku agar tinggal bersama mereka dan mereka adalah satu satunya harapanku> agar menjadikan ayah dan ibuku bersatu kembali
Mungkin Tuhan mendengarkan doa dan harapanku. Setelah melalui beberapa proses dan entah apa itu akhirnya Ayah dan Ibu bersatu kembali. Meski dalam kehidupan baru in' kadang juga masih ada pertengkaran hebat tapi yang jelas sudah lebih baik. Waktu terus bergulir dan haripun terus berganti banyak hal yang aku alami. Kakekku meninggal dan akupun kehilangan satu orang yang menyayangiku
Hingga aku melanjutkan Sekolah Menengah Pertamaku ke daerah lain. Disini aku tinggal bersama keluarga pakdheku
“Mas, aku nitip Melati yo tulung diopeni ", Kata ibuku.
“Yo. Melati anggap saja rumah sendiri kalau ada apa - apa ngomong saja ". Sahut pakdheku.
Di keluarga ini aku tinggal bersama dua anak pakdhe, budhe> dan pakdheku itu. Aku pun merasakan kebahagiaan yang luar biasa ditambah prestasiku disekolah semakin balk. Meski luka lama menyelimutiku. Saat itu aku ada liburan sekolah kelas dua aku pulang kekampung halamanku disana aku tahu bahwa ibuku akan mempunyai anak lagi, kecemburuanpun muncul dari hati ini serasa aku tidak rela seandainya aku diduakan dan seakan akupun belum pernah merasakan kebahagiaan.
" Nduk kok kamu jarang pulang ada apa ?" Tanya budhe.
" Males, Budhe ", Jawabku.
Orang tuaku pun tau malah mereka yang sering mengunjungiku. Dan ulahkupun tak tentu aku menjadi anak yang over acting, bandel dan sebut saja anak yang bermasalah. Hingga suatu hari aku dipanggil guru Biologiku Pak Bambang namanya.
“Apa ada masalah ?" Tanya dia.
" Tidak Pak `' Jawabku menutupi kebohonganku, aku malu mengakuinya.
" Jujur saja, mungkin bapak bisa Bantu ", Kata pak Bambang.
" Tidak pak, tidak ada apa - apa ", Aku tetap mempertahankan jawabku.
" Bapak ingin sekarang kamu bisa mengendalikan emosimu dan prestasimu tetap terjaga ", Saran pak Bambang.
" Ya pak terima kasih " Ketusku.
Akupun keluar dari ruangan itu serasa tak berdosa. Akupun tetap menjadi aku saat itu, anak yang belum mengerti hidup.
Hari - hari pun terus berganti adikku pun lahir dengan selamat, pada saat ibu melahirkan aku ada dirumah, aku juga merasakan kebahagiaan. Tapi kebahagiaan itu lama - lama berubah menjadi kecemburuan yang memuncak dan aku menjadi ana.k yang lebih brutal. Untung saja masih ada Budhe yang bisa menenangkanku.
" Nduk, sekarang kamu sudah gedhe, kamu bisa berfikir dewasa, orang hidup tidak bisa sendiri " Pesan Budhe pada suatu hari. Tapi aku hanya diam dan merenungkannya.
Semakin besar adikku semakin bertambah pula umurku, kebencian dan kecemburuan itupun lebur sedikit demi sedikit, meski terkadang aku juga sering emosi terhadap adikku. Sekarang aku mencoba mengendalikan emosiku.
Banyak orang yang mengatakan aku adalah anak yang tak pernah sedih aku selalu ketawa dan hancur seakan tak berbeban tapi sebenarnya dalam hidupku ini banyak jalan yang berliku tapi dalam hati ini selalu berkata " Hadapilah dengan senyuman ".
Aku ingin kebahagiaan ini akan abadi di keluarga ini dan benar - benar kebahagiaan sesungguhnya dari diri- Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar