Kamis, 24 Februari 2011

MENIKMATI KEINDAHAN PUISI


Sebagaimana telah dijelaskan guru di kelas, puisi merupakan salah satu karya sastra yang bentuknya terikat. Keterikatan puisi itu terlihat jelas pada bentuknya yang berlarik-larik, dan juga rimanya yang teratur baik. Berangkat dari penjelasan inilah maka tumbuh suatu anggapan bahwa menikmati suatu keindahan puisi merupakan hal yang sangat sulit. Anggapan ini terasa semakin kuat bila dikaitkan dengan adanya sejumlah puisi (apapun bentuk puisi tersebut) yang menggunakan kosakata yang kurang lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Adanya puisi (dalam hal ini syair) yang menggunakan sejumlah kosakata yang untuk saat ini kurang lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari, dapat terlihat pada contoh berikut ini :
Adalah raja sebuah negeri,
Sultan Agus bijak bestari,
Asalnya baginda raja yang bahari,
Melimpahkan pada dagang biapri,
(Bidasari lahir)

Untuk memahami baris-baris yang ada pada penggalan syair di atas, kita harus mencari kamus untuk mengetahui makna kosakata yang digunakan, misalnya kata bestari, biapri dan bahari.
Bilamana makna lugas kosakata yang digunakan dalam sebuah puisi saja kita merasa kesulitan bukanlah merupakan hal yang terlalu mustahil bila kita pun merasakan kesulitan untuk memahami makna sebuah puisi. Dengan kesulitan ini, maka jangan diharap kita dapat menikmati keindahan puisi tersebut. Kata bestari, biapri dan bahari yang digunakan dalam puisi di atas bermakna “cerdas, berpendidikan, cakap”, “saudagar (Hindustan)”, “tua sekali, dahulu”. Dengan memahami makna kosakata yang kurang lazim digunakan itu, maka sedikit banyak kita telah memahmi makna yang terkandung dalam puisi tersebut.
Keindahan sebuah puisi sebenarnya tidaklah ditentukan oleh lazim tidaknya kosakata yang digunakan. Cukup banyak puisi yang terasa indah meski kosakata yang digunakan sangat lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari. Hal itu dapat di lihat pada puisi ini :
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu

Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi!
(Taufiq Ismail)

Memperhatikan puisi di atas, hampir dapat dipastikan tidak ada satu pun di antara kita yang tak paham atas kosakata yang digunakan dalam puisi di atas. Seandainya ada, hanyalah terbatas pada kata Salemba. Kata Salemba ini sebenarnya merupakan nama jalan yang ada di Jakarta. Di jalan itu terletak kampus UI, yang saat itu sering digunakan kegiatan mahasiswa yang tengah melakukan aksi demonstrasi menentang kezaliman.
Kendati puisi di atas banyak menggunakan kata lazim, namun untuk dapat memahaminya secara utuh, ada baiknya bila puisi tersebut diparafrasekan terlebih dahulu. Salah satu kemungkinan paraphrase dari puisi di atas adalah :
(adalah) tiga (orang) anak kecil
Dalam langkah (yang) malu-malu
Datang ke Salemba
(pada) sore itu (mereka bertiga berkata sambil menyerahkan sesuatu)
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada (sebuah) karangan bunga
(kami serahkan ini), Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak (kami) yang ditembak mati
Siang tadi!

Dengan penambahan sejumlah kata pada puisi di atas, maka tampaklah bahwa puisi tersebut agak terasa lengkap, sehingga dengan demikian paraphrase dari puisi tersebut kurang lebih sebagai berikut :
“pada suatu sore, datanglah tiga orang anak kecil ke Salemba dalam langkah yang malu-malu. Mereka bertiga menyerahkan sebuah karangan bunga yang berpita hitam sebagai tanda ikut berduka cita terhadap kakak mereka, yang telah ditembak mati pada siang hari tadi”.
Selanjutnya, bilamana kita simak lebih cermat lagi puisi di atas, maka terlihat bahwa penggunaan kata pita hitam bukan hal yang tanpa disengaja. Digunakan kata itu untuk mendukung gagasan “ikut berduka-cita”. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa hitam itu mempunyai makna konotasi duka. Di samping itu pita hitam secara hakiki merupakan simbol atau lambang yang sering digunakan dalam sebuah puisi. Penggunaan simbol atau lambang dalam puisi memang kadang membuat puisi sulit untuk dipahami. Setidak-tidaknya mengundang adanya penafsiran ganda. Adanya penafsiran ganda pada suatu puisi merupakan hal yang wajar. Sebab, secara hakiki puisi sebagai karya sastra memang berpeluang untuk ditafsirkan lebih dari satu.
Dalam hubungan ini, perhatikan puisi di bawah ini :
AKU
Kalau sampai waktuku
‘ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya yang teerbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa ku bawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
(Chairil Anwar)

Setelah membaca puisi karya Chairil Anwar di atas terbuka kemungkinan bagi kita untuk menafsirkan bermacam-macam, siapakah sebenarnya yang dimaksudkan ‘aku” oleh Chairil Anwar? Bisa saja kita mengatakan bahwa yang dimaksudkan oleh Chairil Anwar dengan tokoh ‘aku” tidak lain adalah Chairil Anwar sendiri. Namun juga terbuka kemungkinan ada diantara kita yang menafsirkan bahwa “aku’ adalah ‘angkatan ‘45”, dan juga terbuka kemungkinan bila ada yang menafsirkan “aku’ tiada lain adalah manusia Indonesia yang tengah berjuang untuk mempertahankan kemerdekaannya.
Hanya saja satu hal yang perlu diingat, bahwa meskipun puisi dapat ditafsirkan ganda oleh para penikmatnya, bukan berarti semua tafsiran itu dapat diterima. Sebagai contoh adalah puisi di bawah ini :
SURAT DARI IBU
Pergi ke dunia luas, anakku sayang
Pergi ke hidup bebas!
Selama angin masih angin buritan
Dan matahari pagi menyinari daun-daunan
Dalam rimba dan padang hijau
(bait pertama karya Asrul Sani)

Dalam puisi ini kita jumpai adanya kalimat “pergi ke dunia luas, ankku sayang”. Pergi ke dunia luas di sini mengandung maksud pergi mencari pengalaman. Jadi bukan pergi ke dunia yang lain selama-lamanya. Kendati pada baris ketiga kita jumpai pula kalimat “selama angin masih angin buritan” dan dalam kenyataan angina semacam ini memang ada, namun yang dimaksud adalah “selama masih ada kesempatan”. Sebab, dalam berlayar, angin itu merupakan suatu yang sangat diharapkan dan kehadirannya tidak sellau berasal dari arah yang kita kehendaki. Jadi, mencari pengalaman itu sangat tepat dilakukan bilamana kesempatan itu kita miliki.
Keindahan sebuah karya puisi secara hakiki merupakan perpaduan dari berbagai unsur intrinsik yang ada padanya. Oleh sebab itu sangat terbuka kemungkinan keindahan puisi dapat kita peroleh dari perpaduan bentuk, bahasa, dan isi dari puisi tersebut. Dalam hal ini ada baiknya pula kita simak puisi ini :
Dengan seribu gunung langit tak runtuh
Dengan
Seribu perawan hati tak jatuh dnegan
Seribu
Sibuk sepi tak mati dengan seribu beringin-ingin
Tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang

Darah tak sam-
Pai mengapa tangan melambai sedang
Lambai tak sam-
Pai. Kau tahu?
(BATU, Sutradji Calzoum Bahri)

Melihat puisi itu tampak bahw pemilihan itu bukan sekedar mana suka atau main-main, tanpa maksud apa-apa, namun oleh penyairnya dimaksudkan sebagai upaya memperkuat suasana. Dari puisi itulah terasa suasana keresahan, kebungungan, ketidak tentuan dan kerisauan. Dengan bentuk itu tampak secara nyata pula keindahan yang terkandung dalam puisi tersebut. Secara jujur haruslah diakui bahwa keindahan puisi itu bukanlah sekedar keindahan indrawi, melainkan sampai menukik ke dalam batin manusia yang membacanya.
Keindahan sebuah puisi pada dasarnya dapat kita telusuri dari berbagai aspek. Ada kalanya keindahan puisi terlihat dari penggunaan bahasanya. Namun, yang jelas dan pasti, keindahan puisi itu bersifat universal. Setiap pembaca yang satu dengan yang lainnya bukan hanya dalam kadar keindahan itu dan ini merupakan hal yang sah adanya. Puisi itu  bukan memang sekedar untuk dibaca atau dibicarakan, namun justru lebih untuk dinikmati. Menikmati keindahan puisi itu bagaimanapun juga akan menambah batin kita semakin kaya. Dalam hubungan ini tidak ada satu diantara kita yang enggan untuk kaya akan batinnya. Bila demikian marilah kita nikmati puisi. (ady)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar