Kamis, 24 Februari 2011

“ POTRET MASYARAKAT SAKIT “
(TINJAUAN PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI DI INDONESIA)


Sejak Rhoma menghimbau Inul dan kawan – kawan bergaya lebih sopan di panggung, suara pro Inul mengecam Rhoma membanjiri media massa. Seorang pemusik papan atas Indonesia juga berkomentar “ Apa hak Rhoma memvonis goyangan Inul erotis ? Yang namanya erotis itu kan abstrak ?” (Cek & Ricek, 5/5/2003).
Seorang Kiai Haji mantan Presiden menyatakan “ Tidak ada kebebasan berekspresi apapun yang boleh dikekang di negeri ini, kecuali diatur dalam undang – undang. Kalau Inul melanggar undang – undang, yang berhak menilai soal itu adalah Mahkamah Agung, bukan Rhoma Irama “.(Sabili, 22/5/1003)
Fenomena Inul sesungguhnya hanyalah satu dari sekian banyak indikasi sakitnya masyarakat sekarang ini. Sebuah buku yang secara vulgar mengupas habis kehidupan malam di Jakarta juga beredar sejak januari 2003.
Di kalangan masyarakat Indonesia pornografi dan pornoaksi semakin menyesakkan dada, gambar wanita telanjang dengan mudah dapat ditemukan di berbagai majalah, tabloid maupun Koran, pelayanan seks lewat telepon juga marak, kepingan VCD porno semakin membludak, bahkan tayangan televisi yang mampu menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat semakin berani menampilkan acara pornografi dan pornoaksi.
Gambaran di atas adalah potret masyarakat sakit Indonesia. Jika hal ini dibiarkan akan jadi seperti apa negeri ini ?
H B Jassin mengatakan pornografi adalah setiap tulisan atau gambar yang dibuat dengan maksud sengaja untuk merangsang seksual dan membuat fantasi orang menjadi bersayap dan ngelayap ke daerah kelamin yang menyebabkan syahwat berkobar. Senada dengan H B Jassin, Arif Budiman mengartikan pornografi sebagai sesuatu yang berhubngan dengan persoalan seksual yang tidak pantas diungkapkan secara terbuka kepada khalayak umu. Mohammad Said juga berpendapat bahwa pornografi / pornoaksi itu adalah segala hal yang dengan sengaja disajikan dengan maksud untuk merangsang nafsu seks orang banyak. (Tjipta Lesmana, pornografi dalam media massa, hlm: 109).
Subagio Sastowardoyo dalam Bakat Alam dan Intelektual, hlm: 23-24, memberi pemaparan bahwa yang dipermasalahkan dalam pornografi / pornoaksi adalah kemampuannya merangsang syahwat orang lain secara tidak wajar, tidak pada tempatnya yang tidak tepat waktunya yang dapat menimbulkan tindakan social yang tidak wajar, tidak pada tempatnya dan tidak pada waktunya.
Dalam Jurispredensi Mahkamah Agung disebutkan bahwa sesuatu dikatakan porno jika kebanyakan anggota masyarakat menilai materi tadi secara keseluruhan dapat membangkitkan nafsu rendah. Tjipta Lesmana mengartikan porno sebagai suatu karya manusia baik berupa cerita, gambar, film, tarian, maupun lagu yang diciptakan dengan maksud sengaja untuk membakar nafsu birahi orang lain sehingga merangsang syahwatnya serta menimbulkan pikiran – pikiran jorok di benaknya. Kemudian ia memberi batasan pornografi / pornoaksi, yaitu; menciptakan fantasi (menimbulkan pikiran melayang ke hal – hal yang menjurus perilaku seksual), sifatnya terbuka (dipertontonkan secara umum), tanpa ada landasan yang mendalam dari hasil tinjauan filsafat, kesengajaan (sengaja dibuat untuk merangsang birahi orang lain dalam bentuk ketelanjangan atau ekspos bagian  -bagian tertentu daerah yang memiliki rangsangan seksual tinggi bagi lawan jenis- yang menurut norma susila tidak pantas (Tjipta Lesmana, pornogradi dalam media massa, hlm: 109 – 110).
Islam memberikan definisi yang jelas dan tidak mengambang tentang pornografi dan pornoaksi. Pornografi adalah produk gratis (tulisan, gambar, film) baik dalam bentuk majalah, tabloid, VCD, fil, atau acara di TV, situs porno di internet, ataupun bacaan porno lainnya. Pornoaksi adalah sebuah perbuatan memamerkan aurat yang digelar dan ditonton secara langsung; dari mulai aksi yang “ biasa – biasa “ saja seperti aksi para artis di panggung hiburan umum hingga yang luar biasa dan atraktif seperti goyangan, tarian telanjang atau setengah telanjang di tempat hiburan khusus (diskotek – diskotek, klab – klab malam, dll).
Dalam konteks pornografi dan pornoaksi yang mengumbar aurat ini, yang dimaksud adalah aurat menurut syariat Islam. Seorang wanita yang memperlihatkan sekedar rambut atau bagian bawah kakinya, misalnya jelas termasuk orang yang mengumbar aurat. Sebab, aurat wanita dalam pandangan Islam adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan.
Dari pendapat – pendapat tersebut nampak jelas bahwa yang dinamakan pornografi / pornoaksi adalah segala tindakan yang disengaja untuk merangsang birahi orang lain dan diungkapkan secara terbuka di depan umum.

Kondisi Indonesia Akibat Pornografi / Pornoaksi

Dosen IAIN Sumatera Utara, prof Dr Syahrin Harahap, mengatakan “ saat ini kegiatan pornografi di tanah air sudah sangat meresahkan masyarakat. Maka pemerintah dan DPR harus secapatnya untuk mengesahkan UU Anti Pornografi “. Hal tersebut dikemukakannya menanggapi laporan Kantor Berita Associated Press (AP) yang menyebutkan, Indonesia berada di urutan kedua setelah Rusia yang menjadi surga bagi pornografi.
Fakta dilapangan membenarkan hal itu. Di seluruh dunia, tak ada negara di mana VCD porno lebih mudah didapatkan selain di negeri ini. Demikian pula peredaran media cetak (majalah, tabloid) maupun media interaktif (internet) yang menjurus pada hal – hal yang berbau porno, sekalipun tidak memajang gambar bugil di sampul depan ala majalah Playboy atau Hustler. Tayangan dan obrolan seks di radio dan televisi juga semakin “ berani “. Pemberitaan tentang berbagai aktivitas seksual yang menyimpang dari syariat itu justru dibungkus dengan nada yang berkesan dirayakan.
Akibat dari pornografi dan pornoaksi secara lebih riil dapat dilihat pada pola piker masyarakat yang menganggap pornografi dan pornoaksi sebagai suatu hal yang semakin hari semakin wajar, terjadinya dekadensi moral (seks bebas dan sejenisnya) baik di kalangan pemerintah (Legislatif dan Eksekutif) maupun masyarakat umum. Banyak kasus anggota dewan yang emlakukan pesta seks, bahkan ada yang meninggal di hotel saat berkencan, eksekutif yang terlibat skandal selingkuh, artis, pengusaha dan remaja termasuk usia sekolah.
Ini semua jelas ironi. Mengapa negeri Muslim di dunia ini tidak bisa mencegah semua itu. Masyarakat cenderung diam dan membiarkan proses itu dianggap sebagai ekses wajar modernisasi dan globalisasi. Sementara itu, kaum ulama yang mestinya memiliki tugas mengingatkan masyarakat dan penguasa, juga rata – rata hanya mengungkapkan sebatas “ kaprihatinan “. Dalam bahasa politik, ungkapan keprihatinan ini merupakan bentuk ketidaksetujuan yang paling rendah; jauh di bawah “ protes “ apalagi “ aksi pencegahan “. Kalaupun ada satu dua ulama yang protes keras terhadap pornografi maupun pornoaksi, hasilnya justru sering kontraproduktif.
Pasalnya; pertama, si ulama tersebut akan dituduh ramai – ramai sebagai “ munafik “. Kedua, yang akhirnya akan dibela oleh publik yang dikendalikan opini media justru aktor pornografi / pornoaksi tersebut; bukannya masyarakat beserta generasi muda yang menjadi harapan umat masa depan. Akibatnya, makin banyak ulama yang akhirnya memilih sikap diam daripada justru menjadi “ promotor gratis “ bagi aktor maksiat.
Di sisi lain, usaha melarang pornografi / pornoaksi melalui jalur hokum dengan membuat RUU atau dengan memasukkan pornografi / pornoaksi sebagai tindak pidana dalam KUHP, ternyata justru banyak dimentahkan oleh anggota dewan sendiri. Status pornografi / pornoaksi akan hanya illegal kalau suatu pasal – pasal karet di tarik agak longgar (dan ini makin dijauhi karena dianggap bertentangan dengan HAM); namun juga tidak akan menjadi delik apapun kalau orang membaca KUHP secara tekstual. Inilah yang sering dipakai para pembela pornografi / pornoaksi. Mereka akan memulai dengan pertanyaan seputar definisi pornografi / pornoaksi. Jawaban yang diberikan tentu saja justru akan makin membingungkan.
Meskipun demikian, hal ini tidaklah aneh. Kebingungan diatas terjadi karena tolok ukur yang dipegang adalah “ kesepakatan “ masyarakat tentang apa yang dianggap bermanfaat atau berbahaya. Padahal, masyarakat itu selalu berubah dan bisa jadi pada suatu saat tidak sadar, bahwa kesepakatan di antara mereka akan berdampak serius bagi keberlangsungan masyarakat. Yang jelas, kesepakatan masyarakat itu selalu disetir oleh para opinion leader (pengendali opini) atau para pembuat pendapat yang tentu saja memiliki kepentingan tertentu, apakah itu bisnis, reputasi, dll. Tidak jarang, di suatu negeri, penguasa sengaja mengobral berbagai bentuk maksiat (judi, minuman keras, pornografi / pornoaksi) untuk mengalihkan perhatian masyarakat pada kezaliman mereka.
Tolok ukur seperti ini muncul ketika suatu masyarakat memutuskan untuk memisahkan agama dari kehidupan atau yang disebut dengan sekularisme. Dalam negara yang dibangun di atas system secular, agama tidak mendapat peran untuk mengatur masyarakat melalui undang – undang, kecuali sebagian kecil (UU Zakat, UU Pernikahan)

Faktor Penyebab

Disamping banyak pihak tertentu yang bermental bejat, banyak pula orang yang terlibat dalam pornografi / pornoaksi ini yang sesungguhnya juga hanya menjadi korban. Dengan imbalan yang sebenarnya tak seberapa  dibandingkan dengan sebuah nama baik, keutuhan keluarga, dan ridha Allah, banyak orang rela menjadi pengedar VCD porno ataupun menjadi pekerja seks komersial (pelacur). Banyak dari mereka terpaksa melakukan ini karena desakan ekonomi. Karena itu, tidak aneh, berbagai razia yang dilakukan aparat maupjun beberapa kelompok yang menyatakan perang terhadap maksiat tidak mampu menghilangkan atau bahkan sekadar mengurangi bisnis haram ini secara permanen.
Mungkin akan lain halnya bila desakan ekonomi bisa diatasi. Bagaimanapun, orang akan cenderung pada suatu jenis profesi yang terhormat, aman, dan menenteramkan untuk menuju hari tua. Karena itu, melihat masalah ekonomi yang sangat kompleks yang membelit negeri ini, tak ada cara lain kecuali menerapkan sistem ekonomi yang lebih adil dan manusiawi. System ini yang akan mengentaskan banyak orang dari “bisnis setan” sehingga diharapkan tak ada lagi orang yang memasuki dunia pornografi/pornoaksi karena alasan kesulitan ekonomi.
Di era globalisasi budaya suatu bangsa mudah sekali terpengaruh budaya asing. Di Indonesia masyarrakat kita sudah banyak yang melirik budaya – budaya barat dan bahkan mengikutinya, dengan dalih kemajuan, modernisasi dan life style. Pornografi dan pornoaksi pun menjadi tren di berbagai kalangan di Indonesia dengan berbagai bentuk yang beraneka ragam.

Solusi

Solusi segala permasalahan tentang pornografi dan pornoaksi diambilkan penulis dari MUI karena penulis meyakini bahwa perkataan ulama’ itu sebuah kebenaran dan karunia yang besar. Solusi yang dikemukakan meliputi lima aspek yaitu : Pertama, aspek pendidikan. Jelas sekali, bahwa persoalan yang tengah dihadapi bangsa ini adalah akibat kegagalan kita dalam soal pendidikan. Pendidikan kita selama ini lebih banyak menghasilkan pencuri dan koruptor mulai kelas teri hingga kelas kakap. Pendidikan kita telah banyak melahirkan manusia – manusia tak bermoral dengan mengatasnamakan kebebasan berekspresi dan tetek bengek yang lain untuk mengumbar pornografi dan pornoaksi.
Kedua, aspek kepemimpinan. Eksistensi pemimpin adalah sangat menentukan bagi kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu kepada para pemimpin negara ini agar bisa menjadi teladan dalam segala segi kebaikan, dan diserukan kepada umat dan rakyat secara keseluruhan agar benar – benar cermat dalam memilih pemimpinnya. Jangan salah pilih, pilihlah orang – orang yang mewarisi sifat – sifat kenabian; sidiq (benar), amanah (jujur dan dapat dipercaya, tidak khianat), tabligh (tegas dalam menyampaikan yang haq itu haq dan yang batil itu batil, tidak ada yang disembunyikan) dan fathanah (cerdas dan berpengetahuan luas, tidak bodoh).
Ketiga, penegakan hokum. Definisi zina dalam Islam adalah jelas, yakni setiap hubungan seksual yang dikehendaki dari pihak – pihak yang tidak diikat pernikahan. Ini jelas berbeda dengan definisi KUHP yang hanya membatasi perzinaan sebatas pada orang – orang yang berstatus kawin dan pasangannya keberatan atas selingkuhnya. Definisi KUHP ini jelas belum akan mampu melibas aktor – aktor pornografi/pornoaksi yang statusnya tidak kawin justru atas ‘doa restu’ pasangannya. Memberantas pornografi/pornoaksi tak bisa sepotong – sepotong, namun harus komprehensif. 
Keempat, aktivitas dakwah harus ditumbuh suburkan. Gerakan da’wah yang pada intinya menyerukan dan mengajarkan manusia agar hidup sesuai dengan aturan Allah, adalah solusi bagi segala plobematika kehidupan.
Kelima, penegakan syari’at Islam.
Islam menghargai kebebasan seseorang untuk berekspresi, namun dalam koridor syariat. Islam juga mengaku bahwa setiap manusia memiliki naluri seksual, namun mengarahkannya supaya disalurkan dalam cara – cara sesuai syariat.
Islam tidak sekadar menetapkan agar tak ada seorang pun dalam wilayah Islam yang mengumbar aurat, kecuali dalam hal – hal yang dibenarkan syariat; namun Islam juga memberikan satu perangkat agar ekonomi berjalan dengan benar, sehingga tak perlu ada orang yang harus mencari nafkah dalam bisnis pornografi/pornoaksi. Islam juga memberikan tuntunan hidup dan aturan bermasyarakat yang akan menjaga agar setiap orang memahami tujuan hidup yang sahih serta tolok ukur kebahagiaan yang hakiki seningga demand (permintaan) pada bisnis pornografi/pornoaksi pun akan merosot tajam. Bagaimanapun, setiap bisnis hanya akan berputar kalau ada supply (penawaran) dan demand (permintaan). Karena itu, keduanya harus dihancurkan.
Jika langkah – langkah ini dilakukan, setelah negara mengatasi masalah di sisi supply (penawaran) dengan perbaikan pendidikan dan ekonomi, kemudian mengatasi masalah di sisi demand (permintaan) dengan menghilangkan “para provokator”nya, tetap ada yang nekad melanggar hokum, maka negara tak akan ragu – ragu lagi menerapkan sanksi reprensif. Hukuman jilid atau rajam akan diterapkan kepada pezina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar