Kamis, 24 Februari 2011

SASTRA SINETRON, MENGAPA TIDAK?
Oleh : Tusilah, S.Pd

Sejak zaman nenek moyang, manusia telah mengenal sastra. Hasil karya mereka pun dapat kita nikmati sampai sekarang. Ada bermacam-macam dongeng merupakan bukti bahwa para leluhur, di antaranya adalah Sastrawan. Penyebarannya pun pesat walaupun saat itu baru sebatas dongeng pengantar tidur. Namun, semua itu tak membantu penyebaran dongeng itu sendiri, melalui media lisan dari mulut ke mulut. Hasilnya pun cukup menakjubkan dongeng menjadi abadi sepanjang masa, tanpa kita tahu siapa penciptanya.
Zaman terus berkembang, manusia mampu menciptakan alat komunikasi yang lebih baik dengan media tulis, hasil karya sastra dapat didokumentasikan. Beberapa penerbit muncul, bahwa ketika bangsa Indonesia masih dalam cengkeraman Penjajah. Setelah bersentuhan dengan teknologi modern, sastra dapat berkembang dengan lebih baik. Sebut saja peranan penerbit dan majalah, kedua media ini mampu menampung dan menyelurkan aspirasi Sastrawan waktu itu.
Tahun 30-an sudah ada majalah Pujangga Baru yang khusus memuat karangan, pikiran dan pendapat pengarang-pengarang Pujangga Baru. Dari majalah itu kita dapat mengikuti pertumbuhan dan perkembangan majalah ini teru melaju sesudah perang. Majalah Panca Raya, merupakan majalah pertama yang diterbitkan sesudah perang dan diusahakan oleh Balai Pustaka. Tak lama kemudian terbit majalah Gema Suasana/Gema, sebagai media yang dicoba untuk membentuk lingkungan sastrawan saat itu. Beberapa majalah kebudayaan yang terbit sesudah kemerdekaan antara lain : Indonesia, Zenith, Mimbar, Indonesia, Konfrontasi, Seni dan Gelanggang.

Satra Majalah
Balai pustaka yang sejak zaman perang merupakan penerbit utama buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu. Begitu pula penerbit Pustaka Rakyat, penerbit nasional yang banyak menerbitkan buku-buku sastra, juga terlibat dalam berbagai kesulitan. Oleh karena itu, aktivitas sastra terutama hanya terdapat dalam majalah seperti Siasat/Gelangggang, Mimbar Indonesia, Pujangga Baru, Kompas dan Kisah.
Majalah-majalah tersebut tentu tidak mungkin memuat hasil sastra yang panjang seperti roman atau novel. Karya-karya yang dapat dimuat tentunya karangan yang tidak terlalu panjang, bisa berupa cerpen, puisi atau karangan pendek lainnya. Kondisi seperti itu lalu melahirkan istilah sastra majalah. Istilah itu sendiri mula-mula dikemukakan oleh Nugroho Noto susanto dalam tulisannya yang berjudul “ Situasi 1945 ” dimuat dalam majalah kompas yang dipimpinnya.

Sastra Sinetron
Karya sastra yang di muat ke dalam sinetron merupakan tindakan kreatif sebagai altenatif skenario sinetron. Tindakan prosedur itu kalau mungkin bahkan didukung dan dibantu agar jumlah karya sastra yang diangkat ke sinetron lebih banyak lagi. Bila pemerintah yang terkait dengan hal ini menjadi motor penggerak, bagaimanapun caranya agar program seperti itu dapat terlaksana dengan mulus. Bukankah pendidikan apresiasi sastra menjadi tanggung jawab bersama? Bukan lagi dibedakan kepada guru di sekolah saja.
Menanamkan “ gemar membaca ” (termasuk buku sastra) di kalangan anak-anak (remaja/siswa) ternyata bukan hal yang mudah. Apabila di sekolah diberi tugas membuat sinopsis dalam rangka memenuhi “ program wajib baca buku perpustakaan ” hal itu tampak sekali hasilnya. Siswa yang memang berminat jelas akan melakukan dengan senang hati. Namun, siswa yang memang tidak gemar membaca, mereka jelas ingin meminjam ringkasan temannya, dikutip lalu dikumpulkan sekedar memenuhi kewajiban. Dengan begitu kewajiban itu telah gugur. Namun bila ada kelompok mereka ini diuji, dengan diberi pertanyaan yang cukup mendetail berkaitan dengan buku yang diringkasnya, tentu mereka tidak akan bisa menjawab dengan baik.
“ kemalasan ” membaca bagi para remaja (siswa) tentu dengan berbagai argumen. Ada yang merasa   “ lelah ” jika buku yang dibacanya tebal atau jumlah halamannya banyak. Ada juga yang merasa bosan dengan pemaparan yang bertele-tele. Sebab karya sastra lama biasanya masih berpengaruh bahasa Melayu, banyak menggunakan klise, banyak membahas adat dan masih banyak lagi masalah lain yang juga bisa diterima karena memang nyata. Sebenarnya mengenal sampai dengan memahami kesastraan akan sangat membantu penguasaan kebahasaannya. Sebab pelajaran bahasa dan kesastraan saling berkaitan, antara keduanya sesungguhnya padu. Untuk mengetahui perkembangannya, pembaca harus mengetahui lebih dahulu bagian awalnya. Tahap-tahap pertama munculnya seni sastra itu sebagai tonggak sejarahnya, padahal, mengajak remaja menelusuri itu tidaklah mudah.
Sebagai motivator agar remaja bergerak hatinya untuk mau membaca tentu menjadi tanggung jawab bersama. Bukan lagi tanggung jawab sepihak, orang tua, guru atau pemerintah. Lalu langkah apa yang paling praktis dan kongkrit ? Barangkali bisa kita tafsirkan jawabannya yaitu mengangkat karya sastra ke dalam sinetron. Pemirsa yang sudah menyaksikan sinetronnya, akan bergerak hatinya untuk membaca buku / cerita aslinya. Mereka akan terpancing untuk membandingkan. Sesudah itu, kalau ternyata yang disaksikan dalam sinetron tidak sama dengan yang dibaca di buku, maka akan timbul berbagai tanggapan. Mungkin saja terlihat di sinetron lebih modern (seperti kemauan sutradara) sehingga pemirsa tercengang atau mungkin terlalu tradisional kolot sehingga pemirsa merasa gemas.
Sinetron Karmila misalnya, terbukti diminati pemirsa. Dengan memasang bintang tenar seperti Paramitha Rusadi, sudah menjadi daya pikat utamanya. Lebih-lebih didukung dengan setting aslinya, negeri Kanguru, dengan segala sesuatunya yang berbau modern. Toh tidak mengurangi karya sastranya. Atau dalam sinetron pionirnya, Siti Nurbaya dan Sengsara Membawa Nikmat. Walau sudah ditayangkan cukup lama, namun waktu itu gaungnya sangat hebat. Semua pemirsa, utamanya anak-anak, dihatinya akan teerpatri nama Midun, tokoh protagonis itu. Mereka juga akan selalu ingat “ Si Jahat ” Datuk Maringgih. Dengan mencatat keberhasilan dua sinetron itu, mestinya sudah ada gambaran bagi kita.

Skenarion Alternatif
Menghadapi persaingan media elektronik / televisi yang semakin ketat karena jumlahnya yang cukup banyak, sinetron akan menjadi “ ladang yang subur ”. Dengan banyaknya media televisi yang sudah ada sekarang, maka jumlah sinetron yang dibutuhkan tentu menjadi lipat. Sebagai skenario alternatif, hanya karya sastra yang sudah ada / dibukukan dapat ke sinetron. Sangat banyak karya sastra yang layak disinetronkan. Saya kira akan menguntungkan banyak pihak, baik bagi penulis maupun prosedur (dan di luar itu tentu saja masyarakat pembaca / pemirsa).
Terlepas dari dampak negatifnya (sinetron yang banyak memberi fasilitas sehingga calon pembaca tergolong malas), sinetron merupakan media yang sangat praktis dan ampuh. Tayangan layar gelas itu mampu menembus penonton dari berbagai lapisan. Itu merupakan bukti bahwa sinetron sudah memasyarakat. Jika yang diangkat kedalam sinetron itu dari karya sastra yang sudah dibukukan, misalnya tiga sinetron di depan atau Si Doel Anak Sekolahan, berarti sastra Indonesia sudah merakyat, menjadi sinetron kebanggaan di negerinya sendiri. Tahap perkenalannya lewat sinetron itu, pendalaman lebih lanjut dengan membaca cerita aslinya. Kalau begitu, sebaiknya ya, sastra sinetron.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar