Senin, 21 Februari 2011

Raja Kecil di Sekolah

Raja Kecil Di Sekolah
(sebuah renungan peran kepala sekolah kaitannya dengan kualitas pendidikan di Indonesia)
Oleh : Drs Heru Sutanto SE
Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah 7 Surakarta
Disampaikan Dalam Sarasehan Pendidikan Alternatif di Kalisoro Tawangmangu


Plato, seorang filosof besar mengatakan bahwa tugas pendidikan adalah membebaskan dan memperbaharui pembebasan dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Pembebasan dan pembaharuan itu akan membentuk manusia yang utuh, yaitu manusia yang berhasil menggapai segala keutamaan dan moralitas jiwa, yang akan mengantarnya ke ide yang tertinggi yaitu kebajikan, kebaikan dan keadilan.
Rumusan tujuan pendidikan yang demikian lebih banyak dirujuk oleh sistem pendidikan di Eropa dan Amerika. Istilah universitas pada zaman itu dipakai dalam arti yang khusus, yaitu menunjuk pada kelompok guru dan para mahasiswa, kelompok atau badan yang terjamin tidak dicampuri atau diganggu dari luar oleh kekuatan politik, ekonomi dan lainnya.
Lain halnya yang terjadi di Jepang, khususnya pada masa Restorasi Meiji. Tujuan pendidikan dibuat sinkron dengan tujuan negara, pendidikan dirancang adalah untuk kepentingan negara. Motif dari reformasi pendidikan yang dimotori oleh arsitek pendidikan Jepang seperti Mori Arino pada era Restorasi Meiji adalah mempertahankan negara. Semua kebijakan dalam dunia pendidikan adalah demi menjamin sukses agar dapat bersaing dengan negara besar lainnya. Kebijaksanaan pendidikannya mempunyai tujuan untuk meningkatkan kekayaan dan kekuatan negara dengan tujuan menempatkan Jepang pada kedudukan yang sama tinggi dalam waktu sesingkat mungkin dengan negara besar lainnya.
Landasan pendidikan yang demikian lebih dekat dengan pemikiran Aristoteles, yaitu seorang filosof besar dan juga murid Plato. Ia mempunyai sasaran pendidikan yang mirip dengan Plato. Tetapi, Aristotles mengaitkannya dengan tujuan negara. Ia mengatakan bahwa tujuan pendidikan haruslah sama dengan tujuan akhir dari pembentukan negara yang harus sama pula dengan sasaran utama pembuatan dan penyusunan hukum serta harus sama tujuan utama konstitusi, yaitu kehidupan yang baik dan yang berbahagia (eudaimonia).
Lantas, bagaimana tujuan pendidikan Indonesia? “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” (UUD 1945 versi Amandemen Pasal 31 ayat 3).
“Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.” (Pasal 31 ayat 5).
Dari uraian beberapa tujuan pendidikan di atas, semua sangat baik dan sangat ideal untuk diterapkan di berbagai lini pendidikan. Namun apa yang kita lihat sehari-hari masih jauh dari apa yang menjadi cita-cita masyarakat dan tujuan pendidikan itu sendiri dan bahkan terkesan bertolak-belakang.
Adakah yang salah pada pendidikan di negeri ini? Tentunya tidak mudah dan serta-merta untuk mencari kambing hitam. Untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi pendidikan yang ada sekarang, penulis mencoba menampilkan Paradigma yang ada di masyarakat tentang pendidikan yang telah ada sejak dulu kala dan masih tumbuh subur sampai sekarang yang bisa menjadi faktor penyebab kegagalan pendidikan.

Paradigma masyarakat terhadap pendidikan (disorientasi tujuan pendidikan)
Dari pengamatan dan apa yang dirasakan penulis dan mungkin juga oleh masyarakat, diakui atau tidak selama ini telah terjadi pergeseran (disorientasi) tujuan pendidikan baik tujuan yang diharapkan oleh para filosof, para pendahulu, para pakar pendidikan, bahkan tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Gejala ini terlihat dengan tanda-tanda :
Akibatnya :


Akibatnya :
Betapa sering kita lihat berkurangnya sarjana pada bidang tertentu di satu sisi dan melimpahnya sarjana pada bidang tertentu di sisi lain, atau betapa sulitnya instansi/perusahaan mencari pegawai/tenaga kerja untuk job tertentu di satu sisi dan betapa banyaknya pengangguran karena sulitnya mencari pekerjaan. Sungguh ironis memang, tapi itulah yang terjadi.
Bukan menjadi rahasia lagi bahwa untuk mendapatkan suatu pekerjaan atau bahkan untuk bersekolah pun pikiran pertama yang muncul adalah berapa biaya yang harus disiapkan untuk dapat diterima bekerja atau sekolah. Sehingga sering tidak ada sinkronisasi antara kemampuan yang dimiliki dengan pekerjaan yang harus dilakukan. Hasil akhirnya adalah produktifitas yang rendah.
Orang mengatakan bahwa ia sedang bekerja. Tetapi apa sesungguhnya yang terjadi “disuruh sekali salah dua kali” inilah yang dimaksud penganggura tak kentara (under employment)

Dengan pemahaman demikian maka apabila telah selesai sekolah baik orang tua maupun anak berusaha untuk mengekploitasi dirinya untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya sehingga bukan pada seberapa besar ilmu yang diperoleh bermanfaat untuk kebahagiaan/kesejahteraan dirinya dan masyarakat.

Sesungguhnya semua orang telah menyadari betapa banyaknya mata pelajaran yang telah dibebankan kepada peserta didik dan tidak terbilang lagi berapa mata pelajaran yang akan ditambahkan apakah yang akan disisipkan menjadi mata pelajaran baru lagi. Penambahan demikian ada sebagai akibat semakin terpuruknya kualitas akademik maupun kualitas mental peserta didik. Bahkan, para ahli pendidikan telah terkuras pikiran dan tenaganya untuk merumuskan strategi dan metode pembelajaran sampai tak terhitung lagi yang sesungguhnya apalagi dilaksanakan, dikenal pun mungkin tidak oleh para pelaksana pendidikan di lapangan. Kondisi demikian sesungguhnya sebagai akibat telah terkotak-kotaknya pemahaman tentang ILMU.

Sasaran utama penyelenggaraan pendidikan
Adalah John Dewey, ia tokoh pendidikan Amerika Serikat pada awal dan pertengahan abad ke 20 yang menggulirkan konsep pragmatisme. Dewey mengatakan bahwa pendidikan adalah penyesuaian pribadi yang bertumbuh terhadap lingkungannya (education is “adjusment of the growing personality to its environment). Ia membuat lingkungan menjadi pusat pendidikan. Bagi Dewey, manusia itu harus disesuaikan terhadap lingkungannya tanpa menyebut definisi “lingkungan” (environment) secara jelas.”
Dari definisi di atas maka jelas bahwa alam menjadi titik sentral pendidikan, alam menjadi tujuan. Manusia menjadi “budak” dari alam. Ilmu, teknologi dan hal yang bersifat pragmatis mengambil tempat paling penting. Pendidikan yang berpusat pada manusia semakin tersingkir.
Manusia adalah makhluk yang paling penting dari seluruh yang dicipta, manusia seharusnya menjadi fokus pendidikan. Ini sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan masih seiring dengan pandangan agama yang datang dari Timur yang dianggap merupakan pandangan yang cukup mewakili semua pandangan agama-agama monoteisme tentang penciptaan alam semesta dan manusia. Mengikuti logika pikiran Timu, manusia itu menjadi sentral atau pusat dalam alam semesta, manusia menjadi mahkota dari seluruh ciptaan. Segala sesuatu yang ia butuhkan disediakan sebelum mereka eksis di bumi. Bukan hanya manusia itu sebagai mahkota dari seluruh ciptaan, ia diberi tugas untuk menguasai seluruh ciptaan. Seluruh alam semesta ada di dalam kekuasaan manusia. Bila dikaitkan dengan pendidikan, manusia menjadi sangat penting dalam dunia pendidikan. Itu sebabnya fokus pendidikan harus pada manusia, bukan pada alam.
Sebelum pembahasan dilanjutkan, tidak ada salahnya bila mencoba merenungkan sejenak : Apakah dalam tataran operasional di lapangan para pemangku kepentingan pendidikan sudah sesuai dengan arah tujuan pendidikan yang sungguh sangat mulia atau sebagaimana sasaran pendidikan menurut John Dewey yang berorientasi pada semua yang berada di luar diri manusia?
Pertanyaan inilah sesungguhnya yang menjadi persoalan utama pendidikan yang selama ini berlangsung sehingga nampak jelas perbedaan yang menyolok antara tujuan dan hasil pendidikan bahkan terkesan saling bertolak-belakang.

Problematika pendidikan di Indonesia
Dampak dari penterjemahan sistem pendidikan yang seperti ini telah mematikan daya kreasi, inovasi serta kebebasan pendidikan di Indonesia, dan bahkan telah meletakkan pendidikan Indonesia pada kondisi keterpurukan yang sangat serius. Keterpurukan pendidikan Indonesia ini dapat dilihat dari peringkat di mana kondisi Indonesia berada di peringkat ke 109 di bawah Vietnam (108), Cina (99), Sri Lanka (84), Filipina (77), Thailand (76), Malaysia (61), dan Singapura (24). (Human Developmnet Index/UNDP;2000).
Pemerintah melalui program-program pendidikannya sebenarnya telah berusaha untuk terus memperbaiki sistem pendidikan dan mutu material (kurikulum) pendidikan di Indonesia. Usaha ini tercermin dalam berbagai perubahan kurikulum yang pernah ada, mulai dari kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, KBK dan KTSP (Abd. Rachman Assegaf, 2005).
Tampak sekali hal ini dilakukan sebagai usaha untuk memperbaiki sistem dan mutu materi pendidikan di Indonesia. Namun, alih-alih mencapai sasaran, pembangunan pendidikan melalui perubahan kurikulumnya ini nampak sekedar aksi trial-error buah dari peralihan kepemimpinan di tingkat pemegang kuasa politik di Indonesia. Usaha “uji coba” kurikulum ini melupakan substansi dari tujuan pendidikan yakni pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang menjadi hak setiap warga negara.
Pertanyaannya, bagaimanakah usaha menjawab kebutuhan pendidikan ini sesuai dengan spirit kebutuhan daerah? Di tengah kegalauan tentang paradigma pendidikan di tanah air, berhembuslah angin yang cukup segar. Sistem pendidikan yang bersifat sentralistik akhirnya dirubah dengan sistem pendidikan yang desentralistik. Secara hakiki sistem pendidikan desentralistik adala pelimpahan wewenang pengelolaan pendidikan ke tingkat daerah (kabupaten/kota) dengan prinsip “keseragaman dalam kebijakan dan keberagaman dalam pengelolaan.”
Angin segar pendidikan ditandai dengan pemberlakuan otonomi daerah mulai diterapkan melalui UU Nomor 22 tahun 1999 dan disempurnakan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang berisi tentang penyerahan sejumlah wewenang yang semula menjadi urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, termasuk di dalamnya pengelolaan bidang pendidikan.
Yang perlu diketahui bahwa otonomi daerah yang berimplikasi pada otonomi pendidikan ini dibangun atas dasar filosofi bahwa masyarakat di setiap daerah merupakan fondasi yang kuat dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) secara nasional. Sisi moralnya adalah bahwa orang-orang daerahlah yang paling mengetahui permasalahan dan kebutuhan mereka sendiri.
Angin segar berikutnya adalah paradigma yang baru saja disampaikan Mendiknas Muhammad Nuh. Mendiknas mengemukakan lima pergeseran paradigma pendidikan, yaitu :
Pertama adalah hak belajar. Wajib belajar sembilan tahun bergeser menjadi hak belajar sembilan tahun. “Masyarakat, warga bangsa, punya hak untuk menuntaskan sembilan tahun. Kalau menjadi hak maka kita semua, pemerintah, negara, harus menyiapkan mulai dari sarana, prasarana dan bisa kita jamin bahwa siapapun bisa menuntaskan sembilan tahun untuk belajar.
Kedua adalah kesetaraan dalam pendidikan. Ada warga yang memerlukan layanan yang khusus. Kelompok khusus tersebut dapat disebabkan karena faktor kewilayahan seperti tinggal di daerah perbatasan dan terpencil atau karena faktor fisik. “Rumus umumnya, seseorang, kelompok, yang berstatus khusus maka layanannya pun harus khusus. Jangan statusnya khusus, tetapi layanannya umum.
Ketiga adalah pentingnya pendidikan yang komprehensif atau holistik. Pendidikan harus mampu mengeksplorasi seluruh potensi anak. “Potensi-potensi yang berupa kekuatan batin, karakter, intelektual dan fisik. Semuanya itu harus kita integrasikan menjadi sesuatu kekuatan dari sang anak itu, termasuk di dalamnya adalah pendidikan karakter.
Keempat adalah fungsi sekolah. Sekolah negeri bergeser menjadi sekolah publik. Pada sekolah publik, tidak hanya siswa dari sekolah itu yang dapat memanfaatkan, tetapi pada sore hari dapat dimanfaatkan anggota masyarakat dengan koridor yang terkendali.
Kelima adalah dasar pemikiran sekolah yang tadinya berdasarkan sisi pasokan (supply oriented) bergeser menjadi berdasarkan kebutuhan (demand oriented). “ Pemerintah memberikan layanan kebutuhan siswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan orang tua. Sehingga ada keterjaminan dalam layanan itu karena memang tugas pemerintah adalah memberikan layanan, (disampaikan Mendiknas saat membuka Rembuk Nasional Pendidikan 2010 di Pusdiklat Pegawai Kementerian Pendidikan Nasional, Depok, Jawa Barat, Rabu 3/3/2010).
Banyak yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk perbaikan pendidikan di Indonesia, namun dalam kenyataannya di lapangan masih banyak kendala dan pandangan di masyarakat yang menghambat kemajuan pendidikan, di antaranya :
Sungguh suatu pembiasaan orang selalu mengejar jumlah (kuantitas) dibandingkan taget mutu dan ini terjadi pada hampir semua lini dan semua aspek kehidupan. Ini semua sebagai akibat orang kurangnya memahami esensi, mereka hanya mengukur apa yang mereka lihat sehingga penuh dengan rekayasa dan dengan segala upaya agar dilihat baik oleh orang lain.
Suatu hal yang paling menjanjikan untuk mendapatkan kebahagiaan dan tidak ada profesi lain yang lebih mulia dari profesi yang bergelut di bidang pendidikan, tetapi lagi-lagi sesuatu yang ironis terjadi bahwa tidak sedikit yang menganggap pendidikan merupakan ladang bisnis dan profesi yang paling produktif secara ekonomis, sehingga nilai-nilai yang mestinya dikembangkan menguap entah ke mana.
Penulis sangat meyakini bahwa di negeri ini tidak ada yang tahu secara pasti sesungguhnya ke mana kiblat pendidikan yang diselenggarakan selama ini. Apakah berkiblat ke negara barat atau negara timur, atau membuat kiblat sendiri, atau sintesis dari berbagai sistem pendidikan? Ini yang harus segera terjawab agar kebijakan-kebijakan pendidikan tidak terombang-ambing tanpa arah.
Dengan adanya berbagai gejolak politik, ekonomi yang berdampak gejolak multi dimensial tanggung jawab pendidikan ibarat lempar batu sembunyi tangan. Klau hasilnya bagus maka saling mengaku bahwa itu adalah usahanya. Kesadaran bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara orang tua, masyarakat dan pemerintah masih belum dipahami oleh sebagian besar orang, masih banyak yang beranggapan seperti menjahitkan baju terima jadinya saja.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah termasuk di dalamnya otonomi pendidikan selain banyak aspek positif terhadap pelaksanaan pendidikan tetapi juga tidak sedikit dampak negatifnya. Karena pendidikan melibatkan banyak orang dalam komunitas itu, maka sangat potensial untuk memenuhi target-target politik. Sehingga para pejabat di bidang pendidikan sangat strategsi dan sangat menggiurkan.

Peran sentral kepala sekolah
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2006), terdapat tujuh peran utama kepala sekolah, yaitu sebagai : (1) educator (pendidik); (2) manajer; (3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta iklim kerja; dan (7) wira usahawan.
Kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan kepribadian, dan kepribadian kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin dalam sifat-sifat sebagai berikut : (1) jujur; (2) percaya diri; (3) tanggung jawab; (4) berani mengambil resiko dan keputusan; (5) berjiwa besar; (6) emosi yang stabil dan (7) teladan (E. Mulyasa, 2003).
Sifat-sifat di atas harus dimiliki dan dikembangkan oleh kepala sekolah maupun calon kepala sekolah. Yang terjadi justru masih banyak kepala sekolah yang menempatkan dirinya sebagai ketua atau bahkan sebagai raja. Sebagai ketua ia tidak berani mengambil sikap atau keputusan yang tegas dan akan berani memutuskan hanya apabila diputuskan bersama semua warga sekolah, sebagai raja ia memutuskan segala sesuatu sesuai kemauannya dengan power kekuasaan yang dimiliki.
Beberapa kepala sekolah yang lebih berani, berada dalam tahap di mana mereka dan gurunya dapat mengembangkan inovasi mereka sendiri. Sehingga menyebabkan guru dari sekolah lain beramai-ramai mengunjungi sekolah tersebut dalam usaha mereka mencari gagasan-gagasan baru. Kepala sekolah yang lebih progresif ini juga menggunakan berbagai strategi yang juga merupakan suatu inovasi untuk mendorong agar guru berinovasi dan menularkan inovasi mereka ke guru lain.
Akibat dari diterapkan sistem pendidikan yang bersifat sentralistis dan mengutamakan keseragaman dalam tataran makro telah membelenggu pendidikan Indonesia. Pemerintah Indonesia pun menterjemahkan “satu sistem” pendidikan nasional yang berlebihan. Ini dapat di lihat dalam UU No. 2 Tahun 1989 yang bukan hanya terbatas pada nilai dasar dan instrumentalnya, melainkan juga sampai pada tingkat praktis pendidikan. Kebijakan-kebijakan yang demikian telah menjadikan pendidikan di Indonesia terkungkung oleh “juklak” dan “juknis”, walaupun itu tidak sesuai dengan situasi dan kondisi tempat atau daerah di mana pendidikan itu berlangsung. Institusi pendidikan terjerat, praktisi pendidikan terjerat, guru terjerat, yang pada akhirnya semua tidak dapat menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisi siswa dan lingkungan pendidikan masing-masing. Dampak yang paling signifikan adalah peserta didik yang menjadi korbannya. Siswa akhirnya tidak dapat mengikuti pendidikan dengan senang dan bergairah karena proses belajar dan mengajar tidak sesuai dengan kepentingan dan kemauan mereka, justru sebaliknya. Mereka dipaksa untuk mempelajari hal-hal yang berada di luar konteks kepentingan dan kebutuhan mereka sehari-hari.
Dengan kata lain siswa-siswa tidak diarahkan untuk mempelajari hal-hal yang nyata yang ada di lingkungan dan masyarakat mereka. Akhirnya mereka tercetak sebagai manusia-manusia yang terlepas dari realitas lingkungannya, lepas dari kondisi nyata masyarakatnya. Pendidikan semacam ini lebih memperbesar kecenderungan kepada anak-anak peserta didik menjadi lebih egoistik dan anti sosial yang merupakan titik pangkal semangat disintegrasi bangsa dan anarkhisme dalam kehidupan mereka.
Kepala sekolah mempunyai dua peran utama, pertama sebagai pemimpin institusi bagi para guru dan kedua memberikan pimpinan dalam manajemen. Pembaharuan pendidikan melalui manajemen berbasis sekolah (MBS) dan komite sekolah yang diperkenalkan sebagai bagian dari desentralisasi memberikan kepada kepala sekolah kesempatan yang lebih besar untuk menerapkan dengan lebih mantap berbagai fungsi dari kedua peran tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar