Kamis, 24 Februari 2011

Pers Sebagai Kontrol Sosial Dunia Pendidikan
By Ady Sriyono

Ketajaman sebuah “pena” melebihi ketajaman dari sebuah mata pedang yang paling tajam sekalipun. Pena juga bisa menjadi sesosok guru yang sangat dipatuhi melebihi guru yang ada di dunia ini bukanlah sekedar ucapan dan isapan jempol belaka. Bukan pula slogan yang jadi sebuah tulisan dan hanya menjadi hiasan di dalam media saja. Banyak yang mengatakan kalau pena sekarang sudah tidak lagi tajam. Memang sekarang banyak produk pena yang muncul di masyarakat, dan banyak bermunculan pena yang sudah tidak asli dengan kata lain memanfaatkan ketenaran dari salah satu produk pena di masyarakat. Pena merupakan alat tulis yang mampu mengontrol dan menuliskan berbagai hal, mulai dari pembangunan, agama, ekonomi, olah raga, bisnis, sampai ke dunia pendidikan sekalipun. Dalam kemunculannya, pena adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengontrol kehidupan bermasyarakat dalam berbagai bidang.
Sekarang adalah saat ini, dan dimana pena masih tetap pena yang tajam dan pena yang mampu membangun opini berdasarkan ketaatan masyarakat seperti hari-hari kemarin. Berasal dari ketajaman pena itulah banyak orang memanfaatkan untuk hal-hal yang bertentangan dengan hati nurani. Dengan berbekal pena seseorang bagai seorang Rambo yang membasmi musuh di hutan belantara sendirian. Tetapi sayangnya, Rambo di sini bukan untuk membela nama baik sebuah negara dan menyelamatkan tawanan, melainkan untuk menakut-nakuti Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang telah ikut andil mengisi kemerdekaan bangsa ini. Sering kita mendengar sebuah instansi harus mati-matian mempertahankan diri dari serangan pena tersebut. Karena takut dengan torehan tinta pena yang dapat membuat kotor, seorang kepala instansi harus rela mengeluarkan sejumlah uang kepada pembawa pena palsu tersebut.
Bukan suatu rahasia lagi kalau sekarang ini banyak oknum dunia pendidikan yang suka menyelam dalam air keruh, dengan kata lain mencari-cari kesempatan dalam kesusahan. Dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa “setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan, setiap warga negara wajib memperoleh pendidikan dasar dan pemerintah wajib menyediakan dananya”, dimana pemerintah mengupayakan tersedianya dana pendidikan sebesar 20% APBN. Namun itu bukan merupakan suatu jaminan untuk masa depan dunia pendidikan. Saat ini anggaran untuk pendidikan di Indonesia baru mencapai 11,8 % dari APBN. Juga telah beredar kabar sudah 20%, namun itu juga termasuk gaji untuk para pendidik.
Pencanangan program gerakan desa tuntas buta aksara oleh pemerintah merupakan tindak lanjut dari upaya memberantas kebodohan. Tidak dipungkiri lagi, biaya pendidikan sekarang menjadi berlipat. Upaya pemerintah untuk menambah jatah dana BOS dan pembelian buku ajar tidak dapat meredam kenaikan biaya pendidikan. Yang terjadi adalah sebaliknya, kenaikan dana BOS awal tahun ini juga diikuti dengan bertambahnya berbagai macam iuran di sekolah. Bukan hanya dana BOS yang dikucurkan, pemerintah juga memberikan dana bantuan bagi semua sekolah di seluruh pelosok negeri, seperti DAK, Block Grant, dan Ingub. Namun semakin banyak bantuan yang turun semakin banyak pula sekolah yang harus di renovasi tidak mendapatkan haknya. Sekolah yang sudah bagus dan kokoh menjadi sasaran bantuan tersebut. Pemerataan dana bantuan tidak tercapai karena ulah sebagian oknum.
Sekarang ini pena-pena telah bertebaran dimana-mana, pena tersebut juga sudah dipakai untuk menjadi senjata andalan di dunia pendidikan. Tapi sayangnya, bukan untuk memperbaiki kualitas dan mutu pendidikan nasional tetapi digunakan untuk mencoreng nama pendidikan nasional. Memang pena akan bekerja kalau ada suatu kesalahan yang muncul di dunia pendidikan. Orang yang memegang pena sekarang sudah sering keluar masuk dari sekolah satu ke sekolah lain, cuma untuk mencari segepok uang yang tidak ada efeknya bagi kemajuan pendidikan di negara kita. Dengan kemunculan program pemerintah mengalirkan sejumlah dana bantuan mulai dari dana BOS, DAK, Ingub sampai Block Grant, pena-pena yang dipegang orang tidak bertanggung jawab lalu lalang ke institusi pendidikan di tiap pelosok daerah.
Kemunculan pena sekarang ini bukan untuk membenarkan kecurangan yang terjadi dan bukan untuk menyuarakan nasib Pahlawan Tanpa Tanda Jasa di daerah terpencil, tetapi pena tersebut digunakan untuk menodong dan meminta sejumlah uang dari institusi pendidikan. Kalau seorang kepala institusi pendidikan di manapun berada tidak melakukan kecurangan, seharusnya mau melawan pena palsu tersebut dengan pena yang asli. Pena yang asli muncul untuk melakukan kontrol sosial bagi dunia pendidikan demi terciptanya mutu dan kualitas pendidikan nasional yang mampu bersaing dengan pendidikan internasional. Sudah saatnya institusi pendidikan melakukan kerja sama yang profesional dengan pemegang pena asli. Wahai pelaku dunia pendidikan dan para guru yang telah bekerja keras sudah saatnya pendidikan nasional ditingkatkan. Kerja sama kalian akan menjadikan cita-cita untuk mendapatkan peningkatan kesejahteraan akan tercapai bersama pemegang pena asli yang muncul dari dunia pendidikan. Lengkapilah diri dengan detektor pena, sehingga bisa membedakan mana pena asli yang dapat membantu meningkatkan kesejahteraan dan mana pena palsu yang dapat menyebabkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Pena akan selalu menuliskan kebaikan dan peningkatan mutu serta kualitas pendidikan nasional kalau orang yang berada di lingkungan dunia pendidikan sekarang tidak melakukan manipulasi data dan tidak menerapkan sistem “siapa cepat dia dapat, siapa dekat dia mendapat, dan siapa yang membayar dialah yang menerima”. Kalau cara-cara seperti itu masih dipakai jangan salahkan bila goresan tinta pena berteriak ke mana-mana dan melakukan pencegahan. Pena bergerak tergantung dari keadaan yang terjadi saat ini.
Negeri ini butuh Pers yang sehat, konstruktif, selektif, dan persuasive. Perlu ada traffic light. Mungkin lebih baik dunia mesin yang memegang kendali dan melaksanakan aturan. Ada indikator dan tolak ukur yang pasti yang tidak dapat memanipulasi data. Haruskah itu terjadi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar